InBewara, Soreang – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung membuat terobosan dengan meluncurkan sarana transportasi dengan Sistem trayek berbasis online (satalen) atau angkutan kota (angkot) online.
Pada tahap awal, angkot online diterapkan di jalur Soreang – Banjaran dengan 5 unit angkot. Jika sukses tidak menutup kemungkinan, angkot dengan aplikasi tersebut akan diberlakukan pada seluruh trayek di wilayah Kabupaten Bandung. Tujuan diberlakukannya angkot online, selain menciptakan ketertiban lalin juga untuk meningkatkan pendapatan sopir angkot.
Akan tetapi hadirnya angkot berbasis online ini disambut dingin para sopir angkot. Mereka enggan berpindah ke angkot online, selain tidak memiliki fasilitasnya, hand phone android peminatnya juga pasti kurang. Menurutnya, jika mau meningkatkan pendapatan para sopir, sebaiknya dibersihkan pungutan liar (pungli) yang saat ini ada.
“Bagi saya tidak berpengaruh, mau angkot online atau biasa (konvensional,red) kehidupan sopir angkot tetap sulit. Kecuali kalau pemerintah membersihkan pungutan-pungutan yang selama ini ada,” jelas sopir angkot Soreang – Banjaran, Rohman (47) di Sorengan, belum lama ini.
Menurutnya, yang wajb dibayar sopir setiap hari sekitar 7 jenis pungutan baik resmi maupun liar. Seperti Tempat Pemungutan Retribusi (TPR), iuran organda itu memang resmi dan kewajiban sopir untuk membayar retribusi itu. Yang memberatkan justru iuran yang tidak resminya, seperti dana pengamanan, uang jago nilainya lumayan besar, jika tidak dibayar hari ini besok bayaranya jadi double. Belum calo nu hideng sorangan (inisiatif.red) masukan penumpang kedalam angkot, itu ditarif per penumpang Rp 500. Pungutan-pungutan seperti itu yang mengurangi pendapatan sopir, apalagi pemilik angkot tidak mau tahu setorannnya harus tetap utuh.
Rohman mengaku, dirinya tidak tertarik untuk jadi sopir angkot online. Selain tidak memiliki hand phone android, untuk saat ini peminatnya pasti masih kurang. Karena berbeda dengan Grab dab GoCar, angkot online naik dan menurunkan penumpangnya harus di selter yang sudah ditentukan. Sementara, penumpang jalur Soreng – Banjaran kebanyakan naik turun depan gang yang menuju ke rumahnya masing-masing.
“Sepanjang jalan Soreang – Banjaran kebanyak rumah tinggal dan gang-gang kecil, jadi penumpang naik turun depan rumahnya atau di gang yang mau ke rumahnya. Ada juga penumpang yang baru pulang dari pasar, saya tidak tertarik narik angkot online karena punya langganan tetap,’ ujarnya.
Sementara tokoh masyarakat Soreang, Sukiman (62) menegaskan, kehadiran angkot online jangan sampai menganggi yang konvensional. Jadi regulasi atau perijinannya harus jelas terlebih dahulu, sebelum dioperasikan.
“Meskipun program pemerintah, tetapi keberadaan angkot online regulasinya harus ditempuh, jika belum sebaikya dipending saja dulu jangan dioperasikan. Karena kami takut terjadi keributan antara yang konvesional sama angkot online,” jelasnya.
Sebetulnya keberdaan angkutan umum berbasisi aplikasi tidak terlalu mengganggu jalur Soreang – Banjaran. Konsumennya kebanyak ibu rumah tangga yang akan ke pasar, anak sekolah. Berbeda dengan jalur Leuwi Panjang – Soreang, penggunanya butuh kecepatan sebab akan pergi kerja, kuliah dan sekolah di wilayah Kota Bandung.
“Memang ada penghuni perumahan yang bekerja dan kuliah di Kota Bandung, tetapi rata-rata memiliki kendaraan pribadi. Selain itu angkot Banjaran, banyak yang memiliki langganan pegawai pabrik,” terangnya.
Melihat kondisi seperti itu, sepertinya angkot online tidak akan efektif. Namun jika tetap akan diujicobakan di jalur Soreang-Banjaran silakan saja. Selaku masyarakat Kabupaten Bandung, tetap akan menyukseskan program tersebut dengan catatan regulasinya dilengkapai terlebih dulu. * (Ib-Shandy)